Seorang sahabat mengirimkan pesan, “…saya mulai lagi dari awal belajar Bahasa Arab, tolong berikan saya kiat-kiat agar belajar kali ini tidak sia-sia. Mohon langkah-langkah konkritnya.”
Membaca pesan di atas, saya teringat kata-kata Stephen R. Covey dalam bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People, terkait permasalahan-permasalahan sosial yang jamak dihadapi umumnya manusia; hubungan keluarga: suami dan istri, orangtua dan anak, hubungan di tempat kerja: atasan dan bawahan; hubungan di sekolah: guru dan murid… Covey mengatakan,
“…ini adalah masalah-masalah yang dalam dan menyakitkan – masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan perbaikan cepat.”
Kata-kata Covey di atas menurut saya berhubungan dengan pertanyaan kawan di atas.Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana. Tinggal kemukakan beberapa poin “ramuan” seperti rubrik tips dan trik di sebuah majalah popular.
Namun, dari pengalaman proses belajar Bahasa Arab (baru) 4,5 tahun, saya dapat mengatakan bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan berat. Yang tak cukup dijawab dengan satu-dua halaman. Diperlukan setidaknya satu buku untuk menjawabanya.Dari pengalaman yang sudah-sudah, jumlah pembelajar Bahasa Arab di tiap kelas selalu menurun, berguguran satu demi satu. Saya mengikuti kelas kursus tambahan di kampus hingga 6 semester, padahal resminya hanya ada 4 semester. Sempat cuti satu semester karena kelas saya sudah ‘habis’, menunggu adik kelas sampai ke level yang saya bisa bergabung di dalamnya. Lalu, kelas tersebut pun harus ditutup karena yang belajar hanya dua orang.
Selanjutnya saya belajar privat. Awalnya bertiga. Berguguran satu demi satu juga. Hingga tinggal sendiri. Dan lalu, menjadi murid tunggal menyebabkan proses belajar-mengajar menjadi serba sulit. Meskipun saya berusaha seoptimal mungkin agar ‘kelas’ penghabisan ini tetap bisa berjalan. Setidaknya, jangan berhenti karena saya yang menghentikannya.Itu dari sisi murid.
Dari sisi yang memiliki ilmu, saya menemukan banyak orang yang seharusnya sudah sangat pandai berbahasa Arab, tak proaktif membagi ilmunya. Padahal sudah bertahun-tahun tinggal dan belajar di jazirah Arab. Dibesarkan di lingkungan pesantren atau sekolah Islam. Sejak kecil hingga sekarang sudah punya anak kecil. Jika ditanya kadang ada yang tidak bisa menjawab, ada juga yang menjawab, tapi tidak berinisiatif sendiri untuk menghidupkan bahasa Alquran ini.
Di bagian lain bukunya, Covey membuat subbab, “Cara kita melihat masalah adalah masalahnya.” Sejak pertama membaca buku ini sebenarnya saya sudah sangat yakin semua teori di dalamnya ada akarnya dalam Alquran dan hadis. Seperti urgensi perspektif terhadap suatu masalah.
Disebutkan dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً -١٠٣- الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً -١٠٤-
Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (Q.S. [18] Al Kahfi: 103-104).
Dari ayat ini tercermin bahwa adalah sangat bisa terjadi, seorang manusia memiliki perspektif yang benar-benar keliru tapi ia tidak menyadarinya.Hal inilah yang juga terjadi pada banyak orang dalam memilih fokus belajarnya. Berapa banyak umat Islam yang mau membayar kursus tambahan untuk anak-anaknya untuk pelajaran Bahasa Asing, tapi sama sekali tidak tertarik pada Bahasa Arab. Berapa banyak umat Islam yang betah menempuh segala kepayahan tapi dengan cepat menyerah ketika itu berhadapan dengan bahasa Arab. Akarnya adalah perspektif.
Dalam hadis, persoalan perspektif yang berbeda dan mengakibatkan tindakan yang berbeda, dapat dilihat pada hadis berikut:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ : ” مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ لرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ : ( مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا ) ، فَقَالَ : رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِ النَّاسِ ، هَذَا وَاللَّهِ حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ، قَالَ: فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخَرُ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا ، ) ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ،هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ المُسْلِمِينَ ، هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لاَ يُنْكَحَ ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لاَ يُشَفَّعَ ، وَإِنْ قَالَ أَنْ لاَ يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Artinya: Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata: berlalu seorang laki-laki di hadapan Nabi صلى الله عليه وسلم maka ia berkata pada seorang laki-laki yang duduk di sampingnya, “Apa pendapat kalian dengan laki-laki ini?” Ia (laki-laki itu) berkata, “Seorang laki-laki yang dimuliakan manusia, demi Allah, bahwa dari bangsawan, bila dia meminang, pasti akan diterima, dan kalau minta bantuan, pasti akan dibantu.” Nabi diam.
Beberapa saat kemudian, lewatlah seorang laki-laki lain, lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya, “Apa pendapatmu dengan orang ini?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, menurutku ini orang termiskin dari kalangan kaum muslimin, apabila ia meminang maka pinanangannya ditolak, jika minta pertolongan tidak dibantu, dan apabila berkata, perkataannya tidak didengar.”
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sungguh, orang ini lebih baik dari dunia dan seisinya dibandingkan yang itu.” (HR. Bukhari)
Pada hadis ini tampak bahwa perspektif orang yang ditanyai Rasulullah صلى الله عليه وسلم terhadap dua jenis laki-laki, sangat berbeda dengan perspektif Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan akan berakibat pada perbedaan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya, dunia dan juga akhirat: menerima atau menolak sebuah pinangan. Berangkat dari perspektif yang berbeda jugalah, seseorang bisa bersabar atau tidak dalam memilih atau menempuh suatu jalan.
Kembali ke tujuan permintaan tips di atas; “…agar belajar kali ini tidak sia-sia…” Ini juga sebuah perspektif terhadap sesuatu hal yang perlu didudukkan secara proporsional. Apa yang dimaksud dengan sia-sia? Kapan sesuatu berada dalam level yang bisa disebut tidak sia-sia?
Seseorang yang sudah memulai atau pernah memulai langkah yang baik, pada hakikatnya tidak ada yang sia-sia. Semua akan didatangkan balasannya, sebagaimana firman-Nya:
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
-١٦- Artinya: (Luqman berkata), “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan Memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Teliti. (Q.S. [31] Luqman: 16).
Lebih baik berstatus pernah belajar bahasa Alquran daripada tidak. Lebih baik lagi pernah mengulangi pelajaran daripada hanya sekali belajar lalu buku disimpan entah di mana. Harusnya, dengan ayat di atas seseorang percaya diri untuk mencoba melakukan banyak hal yang baru. Tidak perlu dibayang-bayangi kekhawatiran kegagalan di masa berikutnya, selama yakin itu memang kebaikan dan tidak membuat irisan atau torehan pada kewajiban-kewajiban lain yang lebih tinggi prioritasnya. Ah, bukankah menentukan prioritas sesuatu juga berangkat dari perspektif terhadap sesuatu tersebut?
### 23 Februari 2015